Press "Enter" to skip to content

Sunset Policy: Istilah Yang Perlu Diluruskan

Last updated on January 20, 2019

Pendahuluan
Sunset policy itu adalah kebijakan yang diberikan kepada Wajib Pajak karena adanya ketentuan dalam undang-undang perpajakan yang baru berupa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Singkatnya demikian.

Karena penasaran dengan istilah itu saya kemudian langsung membuka-buka aturan perpajakan yang ada. Dalam referensi yang saya miliki saya tidak menemukan istilah dalam bahasa Inggris itu sama sekali.

Dalam tulisan ini saya akan menitikberatkan pembahasan pada timbulnya istilah asing tersebut. Mari sama-sama kita teliti. Dalam dua ayat Pasal 37A UU KUP—pasal ini dikatakan sebagai pasal yang menjadi dasar timbulnya istilah sunset policy—tidak ada istilah itu dan dalam penjelasannya pun demikian, hanya disebutkan dengan dua kata saja, Cukup Jelas.

Kemudian kalau kita lihat lebih detil pada aturan pelaksanaan dari ketentuan tersebut di atas yaitu Pasal 33 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2008 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya serta Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007 yang ditetapkan pada tanggal 6 Februari 2008, juga tidak ada sama sekali istilah yang kalau diterjemahkan secara kaku ke dalam bahasa Indonesia ini berarti Kebijakan Matahari Terbenam.

Awal Kemunculan
Lalu darimana istilah ini berawal? Saya terus terang saja tidak bisa memastikannya. Tetapi dari bahan sosialisasi UU KUP berlogo Departemen Keuangan dan bertajuk Sosialisasi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak maka saya dapat menyimpulkan untuk sementara bahwa dari bahan sosialisasi berformat microsoft office powerpoint inilah istilah asing ini muncul. Ya, di halaman 37 bahan sosialisasi tersebut istilah itu menjadi judul halaman. Tidak ada keterangan lebih lanjut apa definisinya. Di sana cuma tertulis catatan ringkas dari Pasal 37A UU KUP.

Mungkin bagi sebagian orang pengungkitan istilah ini adalah sebagai sesuatu yang mengada-ada dan tidak prinsipil. Tetapi bagi sebagian yang lain termasuk saya sendiri di dalamnya ini adalah sebuah bentuk pengungkapan keprihatinan. Ya, karena ini menunjukkan kurangnya kepekaan terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Padahal sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 beserta amandemennya, bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa Negara. Yang fungsinya adalah sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar resmi lembaga-lembaga pendidikan, dan bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.

Sebenarnya dengan tidak mencantumkan istilah asing itu di dalam UU KUP dan aturan pelaksanaannya sudah tepat, karena saya yakin sudah ada para ahli bahasa Indonesia yang menggawangi dan menjaga tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di parlemen. Sayangnya ini tidak diikuti di tataran pelaksana perundang-undangan ini dengan memopulerkannya pada bahan sosialisasi.

Itu berarti suatu ajakan kepada masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baik dan benar. Padahal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan lembaga yang baik secara vertikal maupun horizontal—karena perannya sebagai instansi pemerintah—diakui dan diacu sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaannya oleh pemakai bahasa dalam hal ini adalah Wajib Pajak. Serta perannya sebagai salah satu sarana bagi pembinaan bahasa Indonesia sebagaimana diamanatkan pula dalam Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Sementara Tahun 1966, Tap MPR Tahun 1978 dan 1983 yang sampai tulisan ini dibuat ketetapan tersebut belum dicabut.

Lalu apa gunanya bahasa Indonesia yang diajarkan selama ini dan menjadi materi pokok dalam pendidikan dan pelatihan ujian dinas ataupun penyesuaian kenaikan pangkat serta menjadi salah satu materi yang diujikan untuk seleksi masuk menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Keuangan.

Kebutuhan atau Gengsi?
Tak bisa dipungkiri, sebagaimana yang dikatakan oleh Halim (1982), bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang kita akui dan kita perlukan untuk dapat berhubungan dengan bangsa lain di dunia serta untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hal itu tentu saja berakibat bahwa pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia semakin bertambah besar.

Namun, jika pengaruh itu dalam tingkat kewajaran tidak perlu dikhawatirkan, apalagi jika hal itu merupakan pengaruh positif, yaitu pengaruh yang memperkaya bahasa Indonesia, baik dalam mutu maupun kelengkapannya. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini juga tidak berarti sikap kebahasaan yang kaku dan tertutup yang menuntut kemurnian bahasa Indonesia dan menutup bahasa Indonesia dari hubungan saling pengaruh dengan bahasa lain , yaitu bahasa daerah dan asing.

Apabila pengaruh bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya itu merupakan pengaruh yang negatif, yaitu pemakaian yang bukan didasarkan atas keperluan, melainkan untuk memberi kedudukan sosial tertentu maka ini perlu dicegah.

Kalau demikian, kita semua perlu introspeksi diri bahwa pemopuleran istilah ini adalah dalam rangka memperkaya bahasa Indonesia dalam mutu maupun kelengkapannya atau hanya untuk memberi kedudukan sosial tertentu? Apakah istilah itu didasarkan atas sebuah kebutuhan yang mendesak atau hanya memenuhi nilai gengsi sebagai lulusan luar negeri dari sebagian pembuat materi sosialisasi tersebut? Atau cuma menjiplak istilah perpajakan yang sudah populer terlebih dahulu di suatu negara dari hasil studi banding mereka ke luar negeri?

Dapat saya tegaskan di sini, karena berdasarkan pengamatan terhadap aturan yang ada maka penerapan istilah itu bukanlah didasarkan atas sebuah kebutuhan. Kalau memang tidak dibutuhkan sebaiknya istilah asing itu tidak diterapkan. Kalau pun tetap dipaksakan carilah istilah pengganti dengan menerjemahkan secara langsung ke dalam bahasa Indonesia semisal istilah “Kebijakan Matahari Tenggelam”. Walaupun dirasa amat janggal dan di luar rasa kebahasaan, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Atau cari istilah lainnya dalam bahasa Indonesia yang dirasa lebih enak diucapkan dan dimengerti.

Berbagai Sikap Terhadap Kemampuan Bahasa Indonesia
Biasanya sikap yang muncul dari upaya penerjemahan ini adalah sikap sangsi terhadap kemampuan bahasa Indonesia karena sulitnya mencari padanan yang pas. Entah karena rasa minder yang sudah mendarah daging pada bangsa ini sebagai akibat penjajahan asing berabad-abad lamanya atau karena terlalu silaunya pada modernisasi barat. Dan ini sudah ditengarai oleh Effendi (1972) bahwa di kalangan masyarakat terdapat berbagai sikap terhadap kemampuan bahasa Indonesia.

Pertama, sikap mengasingkan kemampuan bahasa Indonesia mendukung dan mengembangkan kegiatan ilmu pengetahuan. Sikap ini muncul karena merasakan betapa sulitnya memberikan masalah keilmuan yang mendukung pengertian kuantitatif terperinci dalam bahasa Indonesia dan sukarnya menemukan istilah teknis sebagai padanan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Makin banyak kesulitan yang didapat, makin mantap kesangsiannya terhadap kemampuan bahasa Indonesia. Bahkan, mereka cenderung tidak percaya terhadap kemampuan bahasa Indonesia yang akhirnya mereka berkeyakinan bahwa bahasa Indonesia tidak mampu melayani kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kedua, sikap memercayai sepenuhnya kemampuan bahasa Indonesia mendukung dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa bahasa Indonesia mampu digunakan dalam segala bidang. Sikap optimistis ini jika diarahkan kepada tujuan yang positif dapat merupakan daya pendorong pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia.

Ketiga, sikap yang dimunculkan oleh kalangan ahli bahasa. Yaitu sikap membenarkan adanya kelemahan-kelemahan tertentu yang diperlihatkan bahasa Indonesia di dalam mendukung dan mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi melihat hari depan yang cerah bagi bahasa Indonesia dengan syarat-syarat tertentu. Wawasan ini mendorong adanya suatu pengertian dan kewajaran yang berarti bahwa adanya pembinaan dan pengembangan sikap ini di kalangan peminat bahasa Indonesia akan memperkecil kemungkinan timbulnya sikap yang kurang wajar terhadap perkembangan bahasa Indonesia.

Pertanyaannya adalah dimana peran DJP selama ini? Apakah yang mendominasi adalah sikap pertama, kedua, atau ketiga? Jika ditengarai ternyata berpihak pada yang pertama adakah keinginan kuat untuk bisa berperan benar sebagaimana amanat undang-undang? Tentunya ini semua berpulang pada pimpinan institusi ini yang bisa menggerakkan seluruh jajarannya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai tuan rumah di rumahnya sendiri.

Penutup
Apa yang dilakukan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP dengan pengumumannya bernomor 02/PJ.09/2008 tanggal 24 Maret 2008 yang diumumkan ke berbagai media massa sudah tepat. Tidak ada sama sekali istilah atau judul sunset policy dalam pengumuman itu dan ia mencantumkan dengan benar istilah itu dalam kalimat bahasa Indonesia sebagai berikut: “Fasilitas Penghapusan Sanksi Pajak Penghasilan”. Ini adalah langkah yang patut dihargai dan patut ditiru oleh seluruh aparat pajak. Apalagi pada saat tulisan ini dibuat sosialisasi tersebut sedang gencar-gencarnya dilakukan.

Saya setidaknya dapat memberikan saran bahwa penyosialisasian kebijakan ini tidak perlu dengan memopulerkan istilah asing tersebut. Pergunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan perannya sebagai bahasa negara dan nasional. Apalagi peran DJP sebagai instansi pemerintah merupakan ujung tombak dari pemasyarakatan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Menjalin kerjasama dengan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa sebagaimana telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta, Departemen Perhubungan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan masih banyak instansi pemerintah lainnya. Kerja sama dengan DJP bisa dalam bentuk pelaksanaan kegiatan penyusunan istilah perpajakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Senantiasa memanfaatkan teknologi yang tersedia berupa fasilitas glosarium yang disediakan oleh situs Pusat Bahasa Depdiknas untuk menerjemahkan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Termasuk upaya pengkajian ulang terhadap istilah asing yang selama ini melekat pada jabatan Saya. Diharapkan dengan semua ini, kepekaan kita terhadap penggunaan bahasa Indonesia dapat ditingkatkan, apalagi di tingkat pimpinan yang menentukan hitam putihnya arah kebahasaan Indonesia. Semoga.

error: Content is protected !!