Press "Enter" to skip to content

Sapta Pesona, Slogan yang Tidak Paralel

Last updated on January 20, 2019

Saat saya menuliskan coretan ini, baru saja saya pulang dari Desa Wisata Kelor, Sleman. Di desa wisata tersebut, saya menemukan satu pemandangan yang sejatinya sudah berjalan puluhan tahun, namun baru saya rasakan keganjilannya siang tadi.

Pemandangan yang saya maksud tersebut adalah semacam papan semen penanda Sapta Pesona. Sayang sekali saya tidak sedang membawa telepon genggam saat melewatinya, sehingga tidak sempat mengambil gambarnya.

Seingat saya, Sapta Pesona sudah dicanangkan sejak zaman Orde Baru. Tujuh poin dalam Sapta Pesona merupakan kondisi yang harus diwujudkan dalam rangka menarik minat wisatawan, agar mereka berkunjung ke suatu wilayah atau daerah di Indonesia.

Ketujuh poin dalam Sapta Pesona tersebut adalah: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah, dan kenangan.

Pada papan semen yang saya saksikan, ketujuh poin tersebut dideretkan dari atas ke bawah. Persis pada kata terakhir, rasanya ada yang mengganjal. Ibaratnya semula saya naik sepeda motor di jalanan yang mulus, lalu tiba-tiba ada polisi tidur besar sekali yang membuat kenikmatan saya bermotor terputus seketika.

Pahamkah Anda, di mana sisi mengganjalnya?

Coba perhatikan. Kata pertama adalah ‘aman’, sebuah kata sifat. Kata kedua ‘tertib’, kata sifat juga. Kata ketiga ‘bersih’, kata sifat lagi. Kata keempat ‘ sejuk’, kembali kata sifat. Kata kelima ‘indah’, jelas sekali itu merupakan kata sifat. Kata keenam ‘ramah-tamah’ itu pun lagi-lagi kata sifat.

Nah, rangkaian kata sifat yang sudah enak dibaca tersebut, malang sekali, ditutup dengan ‘kenangan’. ‘Kenangan’ sama sekali bukan kata sifat, melainkan kata benda!

Entah bagaimana penjelasannya, kenapa pada waktu itu Pak Harto atau Pak Menteri Pariwisata membiarkan saja deretan kata-kata pembentuk paket etos pendukung kesadaran wisata itu. Kenapa mereka tidak mengoreksinya? Apa tak terasa gatal-gatal saat mendengarnya?

Jika ketujuh kata itu masing-masing berdiri sendiri, sudah tentu tiada masalah. Akan tetapi, dengan dimunculkannya mereka dalam satu rangkaian, semestinya sifat paralel harus diterapkan. Kita sudah dilatih terus menerus tentang cita rasa paralel ini dalam kelima sila Pancasila, misalnya. Kelima sila Pancasila masing-masing membentuk klausa nomina atau klausa kata benda. Coba Anda baca ulang sendiri Pancasila, dan Anda akan menemukannya.

Deretan sila-sila dalam Pancasila itu sama-sama akan menimbulkan masalah semenyebalkan polisi tidur di jalan mulus, andai sila terakhir diganti “Adil merata bagi seluruh rakyat Indonesia”, misalnya. “Adil merata bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah klausa adjektiva, yang menyempal keluar dari rangkaian klausa nomina.

Biar contohnya lebih enak, coba kita deretkan saja nama-nama benda, lalu akhiri dengan sebuah kata sifat. Misalnya: meja, kursi, penggaris, pensil, penghapus, bersih. Kata ‘bersih’ merusak kenyamanan aliran pengucapan, sekaligus merusak logika sebuah rangkaian.

Bayangkan jika setiap saat rangkaian-rangkaian kata-kata yang kita simak selalu mengandung cacat logika, lantas bagaimana selera berbahasa masyarakat kita secara komunal?

Itulah sebabnya saya masih heran dengan dibiarkannya Sapta Pesona sejak dulu. Repotnya, agar poin terakhir yakni ‘kenangan’ itu paralel dengan kata-kata sebelumnya, ia harus diubah bentuk menjadi kata sifat. Nah, pertanyaannya, apa kata sifat yang bermakna “gampang membangkitkan kenangan”? Apakah bahasa Indonesia punya?

Barangkali begini saja yang enak: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah, tak terlupakan. Lumayan, bukan?

(IAD)

 

Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.

error: Content is protected !!