Press "Enter" to skip to content

Makna Khusus Kata “Susu” di Indonesia

Last updated on January 20, 2019

Ternyata, kemarin saya termakan hoaks. Sejujurnya saya juga belum yakin apakah hoaks yang memakan saya, ataukah saya yang memakannya. Atau kami menjalankan semacam relasi saling memakan? Ah, sudahlah.

Intinya, tulisan “Tentang Susu Kental Manis yang Hilang Susunya” mengandung kekeliruan fatal. Saya mengakses beberapa berita, dan di sana disebutkan bahwa susu kental manis (SKM) tidak boleh lagi disebut susu.

Senyatanya, edaran dari BPOM tidak mengatakan demikian. Yang ditekankan hanyalah agar SKM tidak diposisikan sebagai sumber asupan gizi sehari-hari. Adapun penghapusan kata “susu” dari SKM masih merupakan wacana, salah satunya dilontarkan oleh YLKI.

Terkait dengan kekeliruan tersebut tentu saya meminta maaf kepada sidang pembaca, kepada dunia susu-menyusu nasional, hingga kepada semua sapi perah yang mungkin tersakiti oleh kata-kata saya.

Namun, dari kasus tersebut, lagi-lagi saya menemukan satu fenomena kebahasaan yang unik.

Begini. Pada medan perdebatan persusuan ini, SKM disebut tidak memenuhi syarat sebagai sumber gizi harian. Ia tetap dapat digunakan sebagai toping kue, sebagai bahan pembuat masakan, dan sebagainya. Akan tetapi, posisinya cuma jadi semacam sirup, semacam minuman “hiburan” saja.

Karena landasan itulah, muncul ide untuk menghapus kata “susu” dari SKM. Ide ini ditentang banyak orang, ternyata. Komentar paling bernas muncul di dinding Facebook saya dari Tri Rainny Syafarani, seorang aktivis kuliner.

Rainny menggambarkan bahwa SKM memang merupakan sweetened condensed milk, yang tidak ditujukan untuk diminum langsung seperti susu sapi segar. Jadi, tetap saja SKM berbahan susu, sehingga ia tetap berhak disebut susu. Yang keliru adalah interpretasi kita secara budaya bahwa susu selalu identik dengan dengan susu sapi segar yang dapat diminum sebagai sumber protein. Akar persoalan ini, menurut dugaan Rainny, bukan karena penyebutan “susu kental manis” itu sendiri, melainkan karena produsen lewat iklan-iklan mereka mencitrakan SKM sebagai minuman sehat sehari-hari.

Nah, tampak jelas poin-poinnya, bukan? Dari semua pendapat Rainny itu, yang paling menarik perhatian saya adalah bagian “interpretasi kita secara budaya”. Ringkasnya, masyarakat Indonesia secara komunal telanjur menangkap kesan bahwa apa pun yang disebut susu pasti menyehatkan. Simpelnya demikian.

Ini sangat bisa dimengerti. Tradisi Nusantara memang tidak akrab dengan kebiasaan minum susu hewan, khususnya sapi. Menurut Fadly Rahman, sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran, masyarakat Nusantara bercirikan agraris dan pesisir. Hewan ternak seperti sapi dan kerbau lebih banyak dimanfaatkan tenaganya dibandingkan dengan dikonsumsi susunya. Bahkan, masih kata Rafly, Thomas Stanford Raffles dalam buku The History of Java menyayangkan potensi susu sapi di Jawa yang disia-siakan masyarakat.

Dengan situasi kebudayaan yang nyaris tidak kenal susu, tradisi minum susu baru dikenalkan kemudian hari oleh kolonial. Sayangnya, kebiasaan itu hanya menular di masyarakat kelas atas. Barulah di masa pascakemerdekaan, khususnya di zaman Orde Baru, pemerintah menggalakkan kebiasaan minum susu. Ingat slogan “Empat Sehat Lima Sempurna”, bukan? Susu datang sebagai kebiasaan baru, entitas kebudayaan yang baru, yang sebelumnya tidak cukup punya makna dalam perikehidupan masyarakat Indonesia. (Mohon koreksi saya jika “asumsi historis” saya tidak akurat.)

Terminologi ‘susu’ dalam gempuran propaganda kesehatan ala Orba itulah yang menjadi fondasi pemahaman masyarakat Indonesia. Susu merupakan minuman bergizi. Titik. Tidak ada pemaknaan lain, semisal ada susu yang menyehatkan dan ada yang tidak menyehatkan, sebab semua susu pasti menyehatkan.

Dari sudut pandang kebahasaan, di sinilah terjadi konvensi alias kesepakatan bersama di antara segenap masyarakat penutur bahasa Indonesia dalam memberikan makna atas kata susu.

Lantas SKM datang. Ada kata susu pula di situ. Maka, masyarakat Indonesia pun melihat SKM dalam kerangka pemahaman sesuai konvensi makna atas kata susu. Terjadilah benturan dan miskomunikasi. Produsen SKM mengatakan susu dalam makna asalnya, masyarakat Indonesia menangkapnya dalam konvensi kebahasaan yang mereka pahami selama ini.

Produsen SKM tidak salah, sebab SKM memang secara objektif berbahan susu. Masyarakat Indonesia juga tidak salah ketika meyakini bahwa semua susu pasti menyehatkan, sebab memang konvensi kebahasaan seperti itulah yang dipahami secara komunal oleh masyarakat penutur selama ini.

Jadi, kalau mau memakai istilah filsafat, dalam konteks masyarakat Indonesia SKM adalah “susu secara espistemologis”, namun “bukan susu secara aksiologis”.

Saya ambil pembanding biar lebih enak, yakni dengan kata samurai sebagaimana telah saya paparkan dalam tulisan berjudul “Samurai: Prajurit atau Pedang?”.  Kata samurai dalam makna asalnya adalah sebuah kelas sosial, namun dalam konvensi kebahasaan Indonesia kata tersebut dimaknai pula sebagai pedang yang dimiliki sebagai kelengkapan militer kelas sosial tersebut.

Ada perbedaan antara makna asal kata samurai di masyarakat Jepang (sebagai “pemilik awal” samurai) dengan makna hasil konvensi di masyarakat Indonesia (sebagai salah satu pengguna kata samurai di kemudian hari).

Dalam pola yang sama, ada pula perbedaan antara makna asal atas sesuatu yang disebut dengan susu atau milk atau apa pun (dalam masyarakat-masyarakat bertradisi gembala, di Eropa, Timur Tengah, dan lain-lain) dengan makna hasil konvensi kebahasaan dalam masyarakat Indonesia (yang baru mengenal susu di kemudian hari sebagai tradisi baru).

Kesimpulan saya, dengan landasan sains, SKM tetap berhak mempertahankan kata susu di produk mereka. Namun dengan landasan antropologi maupun sosiolinguistik, tuntutan dari masyarakat Indonesia agar kata susu dihilangkan dari SKM pun tidak sepenuhnya salah.

Di sinilah pentingnya memahami sebuah masalah secara multidimensional.

(IAD)

 

Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.

error: Content is protected !!