Press "Enter" to skip to content

Lélét, Lambrétta, Lemot

Last updated on April 18, 2022

Lélét, lambrétta, lemot, adalah kata-kata slang untuk lambat. Tapi apa sih bedanya? Mana lebih lambat: lélét atau lambrétta? Mana lebih cepat: lambrétta atau lemot? Bagaimanakah penggunaannya dalam percakapan sehari-hari? Yang mana bahasa formal, yang mana bahasa informal dan yang mana bahasa gaul?

Almarhum Bung Karno (BK) presiden pertama RI, memiliki tanggung jawab besar untuk memajukan bangsanya. Dia  punya jargon yang sangat terkenal; ”Bangkitlah….!!! Jangan jadi bangsa témpé, walaupun kamu makan témpé…! Jangan lélét, kita bisa ketinggalan dengan bangsa lain karena terlalu lama dijajah..!!!”

Mungkin inilah awal bangsa Indonesia yang bukan keturunan etnis Jawa mulai mengenal kata “lélét”. Saya tidak tahu dari mana diambil kata “lélét” ini. Mungkin karena cara berjalan ulat keket yang terlihat amat sangat lambat, dibuatlah istilah “lélét” untuk sikap seseorang yang tidak pernah gesit. Tampak lemas seperti kurang vitamin…

BK dengan kata-katanya yang bernada “membakar” ini secara tegas dibuktikannya dengan cara berjalan yang tidak pernah lambat. Bicaranya keras, tegas dan lugas, karena beliau termasuk yang paling benci dianggap “kecil” oleh Amerika. Sehingga dengan tamu-tamu asing pun BK bisa ngobrol sambil tolak pinggang. Postur tubuhnya juga mendukung untuk bersikap begitu, dengan tinggi badan diatas rata-rata bangsa Indonesia yang umumnya pendek. Kebanyakan makan tempe kali ya…?

Setelah era Sukarno, penggantinya almarhum Suharto amat sangat dikenal memiliki gaya bicara dan berjalan yang berbeda 180 derajat dengan BK. Bisa dikatakan sangat tipical orang Jawa. Mungkin dia ingin menunjukan kesantunan bangsa Indonesia yang sebagian besar ini memang keturunan etnis Jawa. Apalagi tanggung jawab beliau pada waktu itu lebih bersifat Public Relation kepada dunia luar. Indonesia sudah lebih beradab dan bukan bangsa “pemakan” orang. Indonesia sudah lebih santun, datanglah ke negri kami sebagai tamu agung. Maksudnya untuk menarik wisatawan dan juga investor.

Tetapi bagi generasi jaman kemerdekaan serta bagi mereka yang turut memerdekan negeri ini, sikap Suharto itu dianggap amat sangat “lélét”. Saya sendiri yang keturunan Padang-Batak, sikap “lélét” adalah termasuk barang “haram” di keluarga besar saya. Bila ada keputusan atau gaya bicara yang ‘lélét’ dalam suatu rapat keluarga, langsung kita di-cap sebagai orang yang tidak praktis, berbelit-belit, tidak mau terus terang atau bodoh. Tobat, deh.!

Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Suharto mungkin orang yang paling terkenal “super lélét” dalam berbicara. “Biar saja dikatakan menteri bego, karena apa yang saya ucapkan adalah Petunjuk Bapak Presiden.” Begitu yang sering dikatakannya kalau ditanya kenapa suka berbicara seperti robot kurang batere. Coba bayangkan, kalau dia berbicara seperti ini; “Hmm…Bapak Presiden….nngg…Dalam Rapat Kabinet Terbatas Tadi… hmmm… Sudah Menimbang-nimbang serta nggg…Memutusken…. Agar…Supaya…hmmm….nngg….Harga Bahan Bakar Minyak…… hmm…. Daripada. … Sektor….. hmm… Bersubsidi…. nggg… Sekiranya… Perlu… nngg….Diadaken..Penyesuaian kembali….hmmm…. nnngggggg“ Kelanjutannya Pak? Tanya wartawan…. “Sudah itu tadi”, katanya dengan kalem. Padahal inti kalimatnya; “Bapak Presiden Memutuskan Untuk Menaikan Harga BBM Bersubsidi.” Titik.

Awal tahun 70-an, sempat dikenal sepeda motor jenis scooter (skuter) dengan nama Lambrétta. Konon sempat membuat Vespa seperti kebakaran jenggot dengan kemunculan pesaing baru di lingkungan jenis skuter ini. Selain harganya murah, bentuknya lebih langsing dibandingkan Vespa  yang dianggap gendut dan identik dengan kendaraan orang tua dan wanita pada waktu itu…
Tetapi entah karena kualitasnya yang kurang baik atau layanan purna jual (after sales service) yang buruk, Lambrétta yang pabriknya dimiliki oleh India ini, ternyata serba kurang nikmat. Akselerasinya masih kalah dengan Vespa. Koplingnya keras sehingga susah untuk memindahkan gigi persneling. Juga suara dari knalpotnya berisik sekali. Akhirnya sang pesaing ini identik dengan yang serba tidak cepat alias lambat.

Mulailah di kalangan anak muda tercipta kata ‘lambrétta’ untuk arti kata ‘lambat’. Tragis..!!! Awal mulanya juga karena di era awal kemunculan prosesor Pentium 2,3 dan 4, membuat komputer dengan prosesor Pentium 100 atau P 1 jadi tampak seperti lambretta yang loyo itu. Saya sendiri juga bingung, bagaimana skuter jaman tahun 70-an ini namanya bisa digunakan untuk arti kata lambat oleh generasi Pentium? Mungkin orang tua para anak muda itu yang pertama kali memunculkan istilah ‘lambrétta’ itu. Bisa juga karena klub penggemar skuter mulai menjamur di Indonesia. Sehingga anak muda paham apa itu ‘lambrétta’.

Perkembangan internet dan prosesor komputer begitu cepatnya. Telkom-net Instan dikenal sebagai generasi awal tahun 2000-an untuk jaringan internet yang mengunakan kabel telepon. Kemampuan koneksinya di awal lahirnya cukup bagus. Tetapi semakin laku, kemampuannya amat ‘lélét’. Lebih lambat dari ‘lambrétta’. Khususnya bila digunakan di pagi hari, di Indonesia akan saling berebut jaringan dengan sesama lingkungan pekerja dan pebisnis. Padahal di jam yang sama, di Amerika merupakan waktunya anak muda untuk chatting.

Ditemukannya sistim internet tanpa kabel, Wi-Fi, membuat pengguna internet makin sebel dengan jaringan koneksi internet yang berbasis kabel. Muncullah kata ‘lemot’. Aduuh…mungkin ini yang dianggap super lambat dan artinya sangat lambat bila dibandingkan ‘lambrétta’ maupun ’lélét’.

Mungkin ini juga yang membuat Telkom di Indonesia mengeluarkan produk Telkom Speedy. Untuk menunjukan tidak ‘lemot. Hebatnya kata ‘lemot’ ini juga berasal dari bahasa Jawa. Halah..!

Kalau Anda orang Itali atau India, jangan tersinggung kalau diejek ‘lambrétta’ karena sikap Anda yang ingin santun dengan orang Indonesia. Anak muda di kota besar di Indonesia sudah alergi dengan sikap itu. Teknologi Wi-Fi serta adanya Blackberry membuat mereka mencemooh koneksi internet yang lambat dengan kata ‘lemot’. Belum lagi Teknologi GPRS yang membuat telepon selular juga asik untuk digunakan ber-internet. Sikap lemah gemulai seperti penari Jawa, akan dikatakan sebagai sikap orang ‘lemot’. Eksekutif muda biasa bekerja dengan sistim target yang tinggi, makan siang dengan jam terbatas, serta lalu-lintas yang padat, membuat mereka seperti ‘haram’ dengan sikap ‘lemot’.

Pembantu dan office boy dari kalangan Jawa sering menjadi sasaran umpatan ‘lemot’. Sering kita dengar kekesalan diantara karyawan kantor dengan sikap lambat ini. “Kemana sih loe suruh office boy itu..? Kok pergi foto copy aja ‘lambrétta’ sekali ya..?”

Terus teman yang diajak bicara menimpali: “ Aah dia emang orangnya ‘lélét’, sabar aja’’ Tau-tau ada teman yang lain nyeletuk; “ Dia ‘mah bukannya ‘lélét’ tapi…’lemot’…!!” Obrolan ini menunjukan bagaimana si office boy tadi memang memliki kinerja yang bisa membuat orang lain naik darah. Padahal di kampungnya, sikap bekerja yang ‘lemot’ berarti sopan, hati-hati dan teliti. “Alon-alon Asal Kelakon”, biar lambat asal selamat. Walah..!!

Akhirnya, entah karena Suharto terlalu lama bercokol di takhta kepresidenan, atau memang sudah sifat bangsa Indonesia yang demikian adanya, hampir semua Presiden setelah Suharto memiliki gaya bicara yang ‘lemot’. Menteri, Anggota DPR dan pejabat-pejabat lainnya akhirnya kalau berbicara ya ‘lemot’ itu yang dijadikan trend gaya bicara. Tentu ini akan berdampak dengan kinerja mereka yang pencapaian hasilnya ya ‘lemot’. Don’t Expect Too Much..!

Padahal sekarang ini generasi muda sudah hidup dengan gaya prosesor Intel Core 2 Duo dan lain-lainnya yang lebih hebat. Mereka sudah menggunakan Windows XP atau Vista, sementara di pemerintahan mungkin saja masih ada yang menggunakan Pentium 3 atau 4.  Mungkin walau pun mereka sudah menggunakan sistim komputer yang canggih, tetapi ‘lemot’ dalam gaya bekerja masih tetap melekat. Hasilnya, terbukti pada perhitungan suara hasil Pemilu tetap saja kacau balau. Padahal sudah didukung dengan segala kecanggihan teknologi komputer dan internet. Petugas di tingkat Kabupaten dan Desa yang ‘lemot’, tidak mampu mengimbangi gaya bekerja petugas di Jakarta, yang mungkin juga masih ada yang bergaya ‘lambrétta’ dan ‘lélét’.

Tidak perlu bingung bila mendengar ketiga kata ‘lambrétta’, ‘lélét’ dan ‘lemot’ tadi digunakan dalam percakapan di kalangan orang muda. Semuanya untuk menunjukkan sesuatu yang lambat. Baik gaya bekerja, mau pun kemampuan berpikir. Namun kata  ‘lélét’ adalah kosa kata informal yang dimengerti oleh semua orang, sedangkan ‘lambrétta’ dan ‘lemot’  hanya dimengerti oleh kalangan muda saja karena adalah kosa kata yang populer dalam bahasa gaul.

Istri saya memiliki 10  orang saudara kandung. Tetapi diantara mereka yang sebelas bersaudara ini, hanya satu orang kakak yang punya gaya berjalan maupun bekerja persis seperti penari Jawa. Padahal mereka keturunan Bugis yang terkenal gesit di lautan dan bersuara keras. Maka di lingkungan keluarga diapun mendapat julukan ‘Putri Lemot’…… Eh maaf ya kak.

error: Content is protected !!