Press "Enter" to skip to content

Kakiku Masih Megang Lantai

Last updated on January 20, 2019

Penerjemahan Bukanlah Mencari Arti Kata.

“Bapaaak! Ini tuh nggak dalaaam! Kakiku masih megang lantai looo!” anak saya berteriak dari ujung kolam renang sebuah hotel di Semarang.

“Apaaa? Kakimu kenapaaa?” saya bertanya.

“Kakiku masih megang lantai…!”

Hahaha, saya tertawa. Anak saya mengatakan “kakiku masih megang lantai”. Kaki kok (me)megang? Tiba-tiba terbayang seekor simpanse kecil tengah bermain air di hadapan saya.

Itulah bahasa anak perempuan saya sehari-hari. Dia memang berbahasa Indonesia, tapi cita rasanya bahasa Inggris.

“Nak, maksudmu kakimu touching the ground kan? Itu menyentuh, bukan memegang,” timpal saya masih sambil tertawa-tawa.

Anak saya itu lahir di Bantul, selatan Yogyakarta. Hingga umur empat tahun, dia total berbahasa Jawa dan Indonesia. Pada umur empat hingga delapan tahun, kami sekeluarga menemani ibunya yang mengambil studi di Australia. Selama itu jugalah anak saya menjalani kehidupan berbahasa usia dini dalam bahasa Inggris.

Untunglah kami tetap menjaga bahasa Indonesianya, bahkan bahasa Jawanya. Dia tidak mengalami kendala berarti saat pulang kembali ke kampung halaman enam bulan lalu. Lucunya, bahasa Indonesia yang tetap lancar dan medok Jawa itu sangat terpengaruh oleh “mesin pengolah” berbahasa Inggris.

Hasilnya, muncullah kata-kata seperti di atas tadi. Masih banyak contoh lainnya. Pernah, misalnya, saat di dalam mobil dia tergencet neneknya, dan membutuhkan ruang duduk yang lebih longgar, dia bilang, “Nek, gerak! Gerak!”

Saya tercenung tiga detik, dan langsung paham maksud anak saya. Jelas, yang dia maksudkan adalah, “Move! Move!” Nah, karena terjemahan move adalah gerak, dengan mentah-mentah dia mengindonesiakannya menjadi “Gerak! Gerak!”

Segera saya susulkan koreksi kebahasaan kepadanya. “Nak, kalau situasinya seperti ini, bilangnya jangan gerak, tapi geser. Geser, Nek, geser. Begitu…”

Kejadian-kejadian lain terus memunculkan kelucuan-kelucuan yang sama. Dia mengatakan “Sekarang tanggal apa?” alih-alih “Sekarang tanggal berapa?” untuk menerjemahkan “What date is it today?”. Dia mengatakan “Itu bajunya cukup Ibu.” alih-alih “Itu bajunya cukup buat Ibu.” untuk menerjemahkan “The shirt fits Mom.” Dia bahkan menerjemahkan “Which doll do you play with?” dengan “Boneka mana yang kamu main sama?”

Apa yang dapat kita lihat dari fenomena seorang anak kecil yang berbicara bahasa Indonesia tapi dengan “mesin penerjemahan” mentah-mentah ala Google Translate waktu diluncurkan mula-mula?

Ya, sebuah kata tidak dapat diartikan ke dalam bahasa lain. Terjemahan bukanlah arti. Arti suatu kata dalam bahasa Indonesia hanya dapat kita temukan sama-sama dalam bahasa Indonesia. Karena terjemahan bukanlah arti, maka yang dijalankan dalam aktivitas penerjemahan bukanlah menemukan arti suatu kata, melainkan padanan kata.

Latar belakang sosial dan budaya dari sebuah bahasa yang diterjemahkan akan berbeda dengan latar sosial budaya milik bahasa sasaran penerjemahan. Maka, padanan kata pun tidak selalu bisa seratus persen mewakili makna awal yang sungguh-sungguh dimaksudkan. Itulah poin cerita ini.

Kapan-kapan saya ceritakan juga bagaimana “How are you?” sesungguhnya berbeda dengan “Apa kabar?” Kasus kebahasaan yang satu itu lebih cocok untuk menggambarkan padanan kata yang tidak sepenuhnya sesuai dengan maksud bahasa awal. Namun, itu nanti. Sekarang sementara ini dulu, hadirin yang berbahagia. Selamat beraktivitas.

(IAD)

 

Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.

error: Content is protected !!